Breaking News

Menyelamatkan Fiskal Daerah Bukan Pilihan, Tapi Keharusan

 



Menyelamatkan Fiskal Daerah Bukan Pilihan, Tapi Keharusan

Oleh : Fathurrahman


“Pemimpin yang bijak tidak hanya mendengar suara terbanyak, tetapi juga berani membuat keputusan tersulit demi kepentingan jangka panjang.”


Belakangan ini, kritik terhadap kebijakan fiskal Pemerintah Daerah Lombok Barat mengemuka. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN, rencana rasionalisasi tenaga honorer, hingga efek lanjutan dari kenaikan PPN 12%—semuanya menjadi amunisi protes dari berbagai kalangan.

Namun sebelum kita terbawa emosi dalam gelombang opini, mari kita melihat persoalan ini secara jernih dan proporsional.

Selama bertahun-tahun, tarif PBB di Lombok Barat nyaris tak mengalami pembaruan yang proporsional. Banyak objek pajak, terutama milik kalangan menengah atas dan usaha komersial, dikenakan tarif sangat rendah akibat NJOP yang tidak sesuai nilai pasar.

Koreksi ini bukan semata-mata kenaikan pajak, tapi penyesuaian agar sistem perpajakan lebih adil dan transparan. Justru ketidakadilan terjadi jika pemilik tanah luas dan bangunan mewah terus membayar pajak rendah, sementara beban pembangunan ditanggung bersama.

Dan yang perlu ditekankan: pemerintah daerah masih memberikan ruang keringanan melalui skema pengurangan PBB, pengaduan NJOP tidak sesuai, hingga cicilan pembayaran bagi warga berpenghasilan rendah.

Memang, pemotongan TPP ASN bukan hal menyenangkan. Namun mari kita jujur: beban belanja pegawai di Lombok Barat sudah menyentuh titik kritis. APBD sebagian besar habis hanya untuk membayar gaji, tunjangan, dan operasional rutin.

Apa artinya? Program pelayanan publik, pembangunan fisik, hingga bantuan sosial akan tersendat jika tidak dilakukan efisiensi.

Langkah mengurangi TPP adalah langkah tanggung jawab fiskal, bukan bentuk pengabaian terhadap ASN. Bahkan dengan langkah ini, pemerintah bisa menyelamatkan belanja sosial dan infrastruktur dasar agar tetap berjalan.

Penghapusan tenaga honorer adalah amanat nasional melalui Surat Edaran MenPAN-RB No. B/185/M.SM.02.03/2022. Semua daerah wajib mematuhi, termasuk Lombok Barat.

Namun Pemda tidak tinggal diam. Saat ini sedang disusun peta jalan agar proses transisi ini berjalan manusiawi dan proporsional.

Lebih baik penataan sekarang dengan sistem yang jelas, daripada terus membiarkan ribuan orang bekerja tanpa status hukum dan perlindungan kerja yang layak.

Rakyat bertanya: “Untuk siapa semua ini?” Jawabannya sederhana: untuk semua. Karena jika fiskal daerah kolaps, semua sektor akan terkena imbasnya. Pembangunan akan stagnan, pelayanan publik lumpuh, dan kepercayaan investor sirna.

Langkah koreksi fiskal ini bukanlah bentuk penindasan, tapi bentuk keberanian mengambil keputusan yang tidak populer demi stabilitas jangka panjang. Rakyat memang merasakan beratnya perubahan, tapi lebih berbahaya jika kita membiarkan sistem terus defisit dan akhirnya lumpuh.

Kritik terhadap kebijakan publik adalah bagian dari demokrasi. Namun harus dibangun di atas fakta dan analisis yang adil. Menyerukan "rakyat jadi korban" tanpa menyodorkan solusi fiskal alternatif justru melemahkan posisi tawar rakyat itu sendiri.


Karena pertanyaannya bukan hanya:

"Mengapa pajak dinaikkan?"

Tapi juga:

"Kalau tidak dinaikkan, dari mana kita membiayai layanan dasar dan pembangunan?"


Pemerintah daerah Lombok Barat hari ini tengah menapaki jalan sulit. Bukan karena ingin menyusahkan rakyat, tapi karena tidak ingin berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.


Langkah ini bukan bentuk arogansi, tapi kejujuran fiskal. Dan kejujuran inilah yang harus menjadi fondasi reformasi, agar daerah ini tidak terus bergantung pada bantuan pusat dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri.


Dalam krisis, kepemimpinan sejati diuji. Dan keberanian mengambil keputusan tidak populer demi kebaikan bersama adalah bentuk tertinggi dari keberpihakan pada masa depan.

Type and hit Enter to search

Close